Laman

1.




Pada tahun ke-3 era Chên-ming 貞明 (916 M) tanggal 3 Sa Gwee, beberapa saat sebelum wafat, Pu-tai Ho-shang meninggalkan tulisan berikut pada batu di bawah bangunan timur Vihāra Yüeh-lin 岳林寺:

「彌勒真彌勒  化身千百億
 時時示時人  時人自不識」

“Maitreya, oh Maitreya sejati,
dalam ratusan, ribuan koṭi tubuh transformasi,
dari waktu ke waktu menunjukkan diri.
Namun, di setiap waktu orang tiada mengenalnya.”

Dari situlah ditarik kesimpulan bahwa ia merupakan jelmaan Bodhisattva Maitreya. Orang-orang juga mulai membuat lukisan dirinya.

2. KAISAR CH’IN SHIH HUANG


Kaisar Ch’in Shih Huang 秦始皇 (259–210 SM) lebih kita kenal sebagai orang yang mendirikan Tembok Besar Cina. Ia terlahir dengan nama Ying Chêng 嬴政 menjelang berakhirnya Dinasti Chou 周朝. Ketika itu perang saudara berkepanjangan berkecamuk, dan Cina terbagi menjadi beberapa negara bagian.

Ying Chêng naik takhta tahun 246 SM. Pada tahun 221 SM, Negara Bagian Ch’in 秦 yang dipimpinnya berhasil menaklukkan negara-negara bagian lainnya. Ch’in Shih Huang pun tampil menjadi pemersatu seluruh Cina setelah ketidakstabilan politik yang berlangsung dua abad. Ia mendirikan dinasti baru dan memulai penggunaan gelar “kaisar” (huang-ti 皇帝) untuk pertama kalinya. Penguasa-penguasa Tiongkok sebelumnya hanya memakai gelar “raja” (wang 王).

Untuk meningkatkan kendali atas seluruh Cina, ia membuat kode hukum baru yang berlaku secara nasional. Ia menetapkan mata uang standar dan menyeragamkan semua satuan dan ukuran. Ia juga melakukan pembakuan aksara Kanji dalam wilayah kekuasaannya. Ia mereformasi administrasi dan menghapus feodalisme. Jabatan kepemerintahan, yang semula dapat diwariskan dari bapak ke anak, kini hanya dapat diperoleh bila memiliki kecakapan.

Semula, untuk membendung serangan suku-suku Hun (Hsiung-nu 匈奴), negara-negara bagian di Cina Utara telah mendirikan tembok yang membentengi wilayah masing-masing. Ch’in Shih Huang melanjutkan pembangunan Tembok Raksasa secara besar-besaran. Ia juga membuat kanal-kanal dan menghubungkan jalan-jalan raya.




Bagaimanakah dengan agama Buddha di masa Ch’in Shih Huang? Dari kontak dagang melalui Jalan Sutra, agama Buddha kemungkinan telah dikenal sebagian orang Tionghoa, terutama di daerah perbatasan.

3.


Pada tahun ke-4 Ying Chêng meraja (243 SM) — jauh sebelum ia menjadi kaisar*⁾ — serombongan śramaṇa dari Barat datang ke ibukota Negara Bagian Ch’in, Hsien-yang 咸陽. Mereka konon merupakan salah satu dari utusan-utusan misionaris yang dikirimkan Maharaja Aśoka ke berbagai penjuru dunia. Aśoka telah mencanangkan misi penyebaran Dharma dan mengutus sekitar 256 orang.

Rombongan sejumlah 18 orang yang dipimpin oleh Y.A. Śrīvant (Shih-li-fang 室利防) ini membawa serta kitab-kitab suci ke Cina untuk lebih mengenalkan agama Buddha. Akan tetapi, Ying Chêng tidak mempercayai mereka dan hanya menganggap mereka membawakan ajaran yang menyimpang. Śrīvant dkk. dikurung dalam penjara dan kitab-kitab mereka disita.



—————————————————————————
*⁾ Menurut sumber lain peristiwa ini terjadi pada 218 SM, yakni tahun ke-4 setelah ia menjadi kaisar.

4.


Y.A. Śrīvant adalah seorang śramaṇa yang berasal dari Śrāvastī. Ia datang memperkenalkan Buddhadharma di hadapan sidang istana Ch’in. Walaupun sebagian besar yang hadir terkagum-kagum mendengarnya, namun ia dan rombongannya pada akhirnya ditahan karena Raja tidak percaya.

Dari balik jeruji penjara, mereka mulai melantunkan śloka-śloka Sanskerta dan melafalkan Prajñāpāramitā Sūtra. Sedang mereka mendaraskan sūtra, tiba-tiba tertampaklah sesosok yakṣa pemegang vajra (vajrapāṇi) yang bertubuh keemasan setinggi 16 kaki. Seisi penjara diselimuti oleh cahaya, yang menerangi Kota Hsien-yang. Yakṣa vajrapāṇi itu mendobrak pintu sel dan membebaskan mereka.




Sipir penjara yang ketakutan melaporkan hal tersebut kepada Raja. Ying Chêng merasa amat terkejut. Ia mendatangi mereka dan meminta maaf, lalu mengembalikan kitab-kitab mereka. Namun, mereka tetap diminta meninggalkan Cina dan kembali ke negeri asalnya.

5.


Setelah ia menjadi kaisar, Ch’in Shih Huang semakin menunjukkan tiraninya. Atas saran dari Penasihat Li Szŭ 李斯, pada tahun ke-34 setelah ia naik takhta (213 SM) terjadilah peristiwa terkenal pembakaran kitab-kitab. Selain kitab-kitab teknik dan pengobatan yang lolos sensur, maka kitab-kitab sejarah dan puisi kuno serta tulisan-tulisan filsafat yang beredar di masyarakat disita dan dibakar.

Kitab-kitab sejarah dan puisi dibakar agar rakyat tidak memiliki ingatan tentang pemimpin-pemimpin yang adil di masa lalu dan terpancing untuk menggulingkan pemerintahan Ch’in. Demikian pula tulisan-tulisan filsafat dari berbagai aliran pemikiran dibakar untuk mencegah berkembangnya paham subversif. Ch’in Shih Huang bahkan bertindak lebih jauh dengan menangkap dan mengubur hidup-hidup para sarjana beberapa tahun berikutnya.




Selain legenda Y.A. Śrīvant yang beredar belakangan, tidaklah banyak yang dapat kita ketahui tentang perkembangan agama Buddha di zaman Dinasti Ch’in. Sebagai sebuah filsafat asing, Buddhisme pasti juga tidak luput dari pemberangusan. Kalaupun ada tulisan-tulisan yang membahas ajaran Buddha, mungkin tulisan-tulisan itu pun telah disita dan dibakar.

6.


Dari T’ai-shih-kung shu 《太史公書》 (‘Catatan Sejarawan Agung’, atau lebih dikenal dengan judul Shih-chi 《史記》) yang ditulis oleh Szŭ-ma Ch’ien 司馬遷:




Gambar ini merupakan sebuah halaman Shih-chi bagian “Tawarikh Kaisar Ch’in Shih Huang” 〈秦始皇本紀〉 yang menunjukkan kejadian yang terjadi di akhir tahun ke-33 kekuasaannya. Terbaca di sana bahwa ia:

Chin pu tê tz’ŭ ming-hsing ch’u hsi-fang.
禁不得祠明星出西方。
“... melarang dan tidak memperbolehkan menyembahyangi bintang terang muncul di barat.”

Struktur kalimat ini agak janggal. Beberapa ahli modern berspekulasi bahwa pu-tê 不得 dalam kalimat ini merupakan sebuah transkripsi untuk kata Buddha. (Sebelum distandardisasi menjadi fo-t’o 佛陀, mula-mula kata Buddha ditranskripsikan dengan beragam cara: hiu-t’u 休屠, fu-t’u 浮圖, fu-tou 復豆, dsb.) Kata tz’u 祠 sendiri dapat berarti: 1. ‘kuil’, atau 2. ‘memberi sesajian/menyembahyangi’.

Jika kalimat di atas dipecah, maka penafsiran lain menjadi:

Chin Pu-tê tz’ŭ, ming-hsing ch’u hsi-fang.
禁不得祠,明星出西方。
“[Pada tahun ke-33 Ch’in Shih Huang] melarang kuil-kuil Buddha, dan bintang terang muncul di barat.”

7.


Dari legenda penolakan terhadap para misionaris yang membawa kitab-kitab suci, dapat kita lihat bahwa karma baik rakyat Cina masih belum matang untuk dapat mengenal Dharma lebih dalam. Merupakan suatu ketidakberuntungan terlahir di negara di mana agama Buddha mengalami penindasan. Maka alangkah bersyukurnya bila kini kita dapat bertemu Buddhadharma dan menjalankannya dengan bebas.

Kekaisaran yang dipimpin Ch’in Shih Huang dengan tangan besi tidak bertahan lama. Setelah ia meninggal pada 210 SM, Dinasti Ch’in runtuh tiga tahun kemudian. Mulai tahun 206 SM dinasti baru, Han 漢朝, menguasai Cina. Di zaman Han Awal pun tidak ada berita apa-apa mengenai agama Buddha di Cina, selain beberapa kejadian sporadis yang akan diceritakan nanti. Jika semula Dharma datang sendiri menghampiri Cina — namun ditolak mentah-mentah oleh Ch’in Shih Huang — maka dua abad berikutnya bangsa Cinalah yang harus bersusah-payah ke luar negeri untuk mengundang Dharma agar hadir kembali.



8. BANGSA TOKHARI


Jalur perdagangan dari Cina ke Asia Tengah (dan pada akhirnya berujung ke India) telah ada jauh berabad-abad Sebelum Masehi. Jalur inilah yang menjadi cikal-bakal Jalan Sutra, yang terhubung hingga Kekaisaran Romawi di abad ke-2 SM. Mitra dagang di jalur tersebut yang paling dekat dengan Cina Barat sejak zaman purba adalah orang-orang Tokhari. Bangsa Tokhari (Yüeh-chih 月支 atau 月氏) merupakan penduduk asli yang menghuni Cekungan Tarim (kini Provinsi Sinkiang 新疆, RRT). Dahulu mereka bahkan tinggal hingga di sekitar Tun-huang 燉煌 (termasuk Provinsi Kansu 甘肅 modern). Karena serangan suku-suku Hsiung-nu, mereka terdesak semakin jauh ke barat. Hingga abad ke-2 SM, mereka telah bermigrasi besar-besaran ke barat daya dan menduduki daerah Transoksiana.

Keberadaan mereka dapat terlacak berkat ekspedisi yang dipimpin Chang Ch’ien 張騫 ke Asia Tengah antara tahun 138–126 SM. Sejak kepindahan bangsa Tokhari, Cekungan Tarim dikuasai oleh Hsiung-nu dan otomatis menjadi daerah tertutup. Kaisar Han Wu-ti 漢武帝 mengirim ekspedisi tersebut dengan tujuan mengajak mereka kembali ke tanah airnya, dan berjanji akan memberikan perlindungan jika mereka membantu mengusir suku-suku Hsiung-nu.

Chang Ch’ien dan rombongannya ditawan oleh suku Hsiung-nu ketika melewati Cekungan Tarim. Setelah lolos dengan berbagai upaya, mereka berhasil menembus ke barat dan tiba di Fergana. Dari Fergana ke selatan, sampailah mereka di Transoksiana dan menemukan bangsa Tokhari yang telah menetap di sana. Bangsa Tokhari tidak mau kembali ke tanah airnya, namun mereka membuka hubungan diplomatik dan berjanji akan menjaga jalinan persahabatan dengan Kekaisaran Han.




Tokhari merupakan salah satu bangsa Asia Tengah yang paling awal memeluk Buddhisme. Perpindahan ke agama Buddha semakin besar setelah mereka menduduki Baktria di selatan, tidak lama setelah kepulangan Chang Ch’ien. Kekuasaan bangsa Yunani di Baktria saat itu sudah semakin lemah, dan bangsa Tokhari berhasil mendirikan kerajaan baru di sana pada akhir abad ke-2 SM. Baktria, yang terletak di utara Afghanistan modern, akhirnya dikenal juga sebagai Tokharistan (Skt. Tukhāra).

Bangsa Tokhari menjadi pendukung Buddhisme yang gigih. Mereka berhasil bergerak terus ke selatan, menguasai India Utara pada abad pertama Masehi, dan mendirikan Kerajaan Kuṣāṇa. Raja terkenal Dinasti Kuṣāṇa, Kaniṣka, merupakan sponsor utama dari Konsili Buddhis keempat.

9.


Sebelah selatan dari Transoksiana adalah daerah Baktria (Skt. Bāhlika). Sewaktu Chang Ch’ien tiba di sana, kekuasaan bangsa Yunani sudah semakin melemah. Chang Ch’ien menjumpai tongkat bambu berkualitas unggul serta kain dari Shu 蜀 (nama lain Provinsi Szŭ-ch’uan 四川) diperdagangkan di Baktria. Maka ditanyakannya dari mana orang-orang Baktria memperolehnya. Mereka memberitahu bahwa komoditas itu pun mereka impor dari Negeri Sindhu (Shên-tu 身毒), yakni daerah Pakistan. Mereka juga menceritakan lebih jauh serba-serbi Negeri Sindhu.

Ekspedisi Chang Ch’ien berakhir di sini. Ia pulang kembali ke Cina melalui Cekungan Tarim dan kembali ditawan oleh suku Hsiung-nu. Dan lagi-lagi keberuntungan masih menyertainya sehingga ia berhasil melarikan diri sewaktu pemimpin Hsiung-nu meninggal. Pada tahun 125 SM (menurut sumber-sumber Buddhis: pada tahun pertama era Yüan-shou 元狩 [= 122 SM]) ia mencapai Ibukota Ch’ang-an 長安.

Chang Ch’ien mendeskripsikan kepada Kaisar Han Wu-ti keadaan negeri-negeri Asia Tengah yang dikunjunginya. Diceritakannya bagaimana bangsa Tokhari saat itu lebih suka hidup damai saja dan menetap di Transoksiana. Tidak lupa ia juga melaporkan tentang Negeri Sindhu sebagaimana diceritakan oleh orang-orang Baktria: bahwa negeri itu ternyata lebih dekat dicapai dari Provinsi Szŭ-ch’uan di barat daya Cina; penduduknya menunggangi gajah sebagai alat transportasi; mereka banyak yang beragama Buddha dan hukuman mati dihapuskan di sana. — Inilah pertama kalinya agama Buddha disebut-sebut dalam catatan sejarah Cina setelah Ch’in Shih Huang.




Pada tahun 121 SM akhirnya Kaisar Han Wu-ti memutuskan untuk menghabisi suku-suku Hsiung-nu di perbatasan barat. Berkat kepiawaian Jenderal Huo Ch’ü-ping 霍去病 dan Wei Ch’ing 衛青, pasukan Han dapat membebaskan Koridor Ho-hsi 河西, leher sempit di Provinsi Kansu. Mereka kemudian berhasil mengambil-alih penguasaan atas Cekungan Tarim dan membuka jalur perdagangan ke barat.

10.


Hsiung-nu 匈奴 bukanlah sebuah bangsa yang homogen, melainkan konfederasi suku-suku nomaden yang dipimpin oleh seorang ketua yang disebut shanyü 單于. Di bawah shanyü adalah pangeran dari dua puak berbeda yang disebut *jükü-bek 屠耆王 (diterjemahkan sebagai ‘raja-bijak’ 賢王). Raja-bijak kiri 左賢王, yang berasal dari puak timur, menurut hukum Hsiung-nu akan menjadi penerus takhta sebagai shanyü berikutnya. Ia diberi kewenangan atas pasukan yang besar. Raja-bijak kanan 右賢王, yang berasal dari puak barat, berperan sebagai perdana menteri. Ia hanya menjalankan fungsi pengawasan dan dapat menjadi shanyü berikutnya jika melakukan kudeta.

Sewaktu Jenderal Huo Ch’ü-ping membebaskan Koridor Ho-hsi, pasukan Hsiung-nu mengalami kekalahan besar dan terpukul mundur hingga ke Gunung Ch’i-lien 祁連山. Shanyü saat itu, Ichise 伊稚邪, merasa amat murka dan hendak menghukum mati kedua raja-bijak. Raja-bijak kanan, Hun-yeh (*Hunie 昆耶王), ketakutan dan memilih menyerah kepada pihak Han. Ia mengajak raja-bijak kiri, Hsiu-ch’u (*Süchi 休屠王), yang menjadi penerus takhta dan memimpin pasukan besar, untuk ikut menyerahkan diri. Semula Hsiu-ch’u setuju, namun di tengah perjalanan ia membatalkan niatnya dan berbalik arah bersama pasukannya. Maka Hunie pun membunuhnya.

Pada akhirnya 40.000 pasukan Hsiung-nu menyerah dan dibawa sebagai tahanan oleh Huo Ch’i-ping. Hunie mengambil patung emas — hampir bisa dipastikan sebuah patung Buddha — yang selama ini dipuja oleh Raja Hsiu-ch’u, dan membawanya serta ke ibukota Han. Dalam rombongan itu putra Hsiu-ch’u yang bernama Mi-ti 日磾, yang baru berusia 14 tahun, juga ikut ditawan. Ia dipekerjakan di istal kuda dan mendapat perkenan Kaisar Han Wu-ti. Mengingat patung emas yang dipuja ayahnya, maka Kaisar memberinya marga Chin 金 (‘emas’) sehingga ia dikenal sebagai Chin Mi-ti.

Patung emas itu sendiri ditempatkan oleh Kaisar Han Wu-ti di Istana Sumber Manis (Kan-ch’üan kung 甘泉宮). Yang menarik adalah: patung tersebut tidak memerlukan kurban-kurbanan banteng atau biri-biri, tetapi cukup diberi persembahan dupa. Maka Kaisar pun memerintahkan agar cara pemujaan seperti di negeri asalnya diteruskan.




Dari kisah di atas dapat kita lihat bahwa agama Buddha — entah dari mana asalnya — sudah dikenal di antara beberapa suku Hsiung-nu, yang merupakan penganut shamanisme dan memuja tengri (roh langit) tanpa perwujudan patung apa pun. Entah kebetulan atau disengaja, nama Hsiu-ch’u atau Hsiu-t’u 休屠 (yang berarti ‘beristirahat dari penyembelihan’) merupakan transkripsi Tionghoa mula-mula untuk kata Buddha. Nama Hunie 昆耶 juga kadang dituliskan secara salah menjadi P’i-hsieh 毘邪 (Vaiśāli?). Yang jelas Kaisar Han Wu-ti hanya menganggap patung emas itu sebagai berhala biasa yang tidak berbeda dengan dewa-dewa lainnya. Pemujaannya juga lebih bersifat pribadi sehingga kecil pengaruhnya terhadap perkembangan agama Buddha di Cina.

11.




Pada tahun 2 SM Kaisar Han Ai-ti 漢哀帝 mengutus Ching Lu 景盧 (menurut sumber-sumber Buddhis: Ching Hsien 景憲) ke Tokharistan untuk mempelajari Buddhisme. Raja Tokhari dengan senang hati menerimanya dan mengirim orang untuk membimbingnya. Kejadian ini barangkali historis sebab tercatat dalam kitab sejarah San-kuo chih 《三國志》 (‘Babad Tiga Kerajaan’) pada apendiks di akhir buku Wei 〈魏書〉 ke-30:

昔漢哀帝元壽元年,博士弟子景盧,受大月氏王使伊存口受浮屠經。曰後立者,其人也。
Dahulu, di tahun pertama era Yüan-shou dari Kaisar Han Ai-ti, siswa sarjana bernama Ching Lu telah menerima dari I-ts’un, orang utusan raja Tokharistan, transmisi lisan kitab-kitab Buddha. Maka [di Cina] berdirinya agama yang disebutkan terakhir tadi, bermula dari orang ini.

Akan tetapi, instruksi yang diberikan tersebut sebenarnya lagi-lagi bersifat pribadi, dan tidak ada berita lebih lanjut tentang bagaimana perkembangan agama Buddha di masa Dinasti Han Awal. Pada tahun 9 M, Wang Mang 王莽 melakukan kudeta. Kekuasaan Dinasti Han terpotong sementara hingga direbut kembali pada tahun 23 M. Ibukota Han kemudian pindah ke timur, di Luo-yang 洛陽.

12. IMPIAN KAISAR HAN-MING-TI


Akhirnya sampailah kita ke zaman Dinasti Han Timur.




Pada tahun ke-3 era Yung-p’ing 永平 (60 M), di malam tanggal 8 Si Gwee, Kaisar Han Ming-ti 漢明帝 bermimpi melihat seorang bertubuh keemasan terbang di atas istana. Tingginya sekitar 16 kaki, dan dari belakang kepalanya terpancar cahaya yang terangnya melebihi matahari dan rembulan.

Han Ming-ti terbangun dengan perasaan amat gembira. Keesokan harinya dikumpulkannya sidang istana untuk menanyakan ta’bir mimpinya: “Dewa apakah sesungguhnya yang kulihat itu?”

Perdana Menteri Han Hsien 韓憲 menjawab: “Hamba mendengar di daerah Barat ada orang suci yang bernama Buddha. Sepertinya Ialah yang muncul dalam mimpi Paduka semalam.”

Sejarawan istana, Fu I 傅毅, seorang pewaskita, menerangkan:

“Dalam kitab Catatan Kejadian Aneh 《異記》 yang berasal dari zaman Dinasti Chou 周朝 tertulis bahwa pada masa pemerintahan Raja Chao 昭王 suatu subuh angin kencang berhembus menggetarkan rumah-rumah, dan sayup-sayup tercium wangi semerbak. Bintang-bintang tidak kelihatan, namun di langit terlihat cahaya ganjil berwarna biru-kemerahan memenuhi segala penjuru. Raja Chao menanyakan kepada astrolog istana, Su Yu 蘇由, pertanda apakah itu. Su Yu menjelaskan bahwa di sebelah Barat telah lahir seorang suci agung.*⁾ Hal ini tampaknya merujuk pada kelahiran Buddha.

Raja Chao selanjutnya bertanya apakah pengaruhnya bagi kerajaan. Su Yu menjawab: ‘Saat ini belum ada. Akan tetapi, seribu tahun mendatang suara Ajaran-Nya akan bergema ke seantero negeri.’ Hamba rasa sudah saatnyalah sekarang Ajaran Suci itu tersebar di negeri kita.”

Mendengar penjelasan Fu I, Kaisar Han Ming-ti bersukacita sambil memikirkan tindakan apa yang akan ia ambil selanjutnya.





—————————————————————————
*⁾ Raja Chao menyuruh agar peristiwa ini diukirkan pada lempengan batu di sisi altar tembok selatan Luoyang.

Delapan puluh tahun berikutnya, tatkala Raja Mu 穆王 yang bertakhta, pada tengah hari langit berubah menjadi gelap dan terjadi gempa bumi. Dua belas lengkungan pelangi berwarna keputihan tampak berjajar di barat mengarah ke Juring Langit T’ai-wei 太微. Fenomena ini berlanjut sepanjang malam hingga keesokan paginya. Raja Mu khawatir hal ini berpengaruh buruk bagi kerajaan meskipun ia sudah tahu peristiwa yang terjadi di masa Raja Chao — bahwa nun jauh di Barat telah lahir seorang suci. Namun, astrolog Hu Tuo 扈多 menjelaskan bahwa orang suci tersebut telah mangkat; fenomena yang terjadi saat itu hanyalah tanda kemangkatan-Nya.

13.


Sementara itu ...




Di India, dua orang arhat yang bersahabat, Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa, mengamati melalui mata kebijaksanaan bahwa akar kebaikan makhluk-makhluk di Cina telah masak. Kesempatan akan terbuka bagi banyak makhluk untuk meraih Pembebasan apabila mereka berdua pergi membabarkan Dharma ke sana.

Di samping itu, mereka juga mengetahui bahwa Gunung Pañcaśīrṣa (Wu-t’ai shan 五台山) terletak di Cina, dan telah lama mereka bermaksud untuk berziarah ke sana. Gunung yang terkenal itu memang merupakan tempat Bodhisattva Mañjuśrī melungguh, sebagaimana disebutkan dalam Sūtra tentang Tempat Kediaman Para Bodhisattva 〈菩薩住處品〉 yang merupakan kitab ke-27 dalam Avataṃsaka LX (T. vol. 9, № 278 hlm. 590a):

東北方有菩薩住處,名清涼山。過去諸菩薩常於中住。彼現有菩薩,名文殊師利,有一萬菩薩眷屬,常為說法。
Di timur laut terdapatlah tempat kediaman (pīṭha) bodhisattva yang disebut Gunung Jernih dan Sejuk. Para bodhisattva di masa lampau kerap bersemayam di tengahnya. Dan di sana kini adalah seorang Bodhisattva bernama Manjuśrī, yang memiliki 10.000 bodhisattva sebagai pengikut, senantiasa membabarkan Dharma.

Mengetahui bahwa waktunya hampir tiba, maka mereka berpindah ke India Barat, ke Baktria (Tokharistan), menantikan matangnya karma yang akan menjodohkan mereka ke negeri Cina.

14.


Maka pada tahun ke-7 era Yung-p’ing 永平 (64 M), setelah segala persiapan selesai, Kaisar Han Ming-ti pun mengutus sebuah rombongan yang terdiri atas 18 orang (atau 14 orang, atau 12 orang menurut sumber-sumber berbeda) untuk mencari Buddhadharma ke Barat. Di antara mereka terdapat Priayi Ts’ai Yin 蔡愔, Kepala Sidang Istana Ch’in Ching 秦景, Sarjana Wang Tsun 王遵, dll.

Buddhisme bukanlah tidak dikenal di Kekaisaran Han pada zaman itu. Terdapat kantong-kantong komunitas Buddhis di beberapa daerah, dan sepertinya juga terdapat anggota saṅgha dari luar negeri yang berkunjung. Akan tetapi, belum ada guru yang benar-benar kompeten, yang membawakan Ajaran yang ortodoks. Penyebaran Dharma juga terbatas pada anggota komunitas-komunitas tersebut. Di samping itu, kebanyakan orang di masa itu hanya menganggap agama Buddha sebagai sebuah sekte Taoisme dan sukar dibedakan.

Ts’ai Yin dkk. menempuh perjalanan berat ke Asia Tengah. Menemukan guru yang kompeten bukanlah perkara yang mudah. Yang dicari bukan hanya orang yang luas pengetahuan Dharmanya, melainkan juga memiliki realisasi. Lagipula, dibutuhkan kesediaan mereka meninggalkan tanah airnya untuk menuju Cina — bahkan mungkin tanpa kesempatan kembali, dan wafat di daerah antah-berantah.




Dari negeri ke negeri mereka bertanya-tanya apabila terdapat guru yang seperti itu. Hingga suatu ketika, mereka mendengar tentang keberadaan seorang guru terkenal bernama Kāśyapa Mātaṅga, yang menembus makna sūtra-sūtra Kendaraan Kecil maupun Besar, dan unggul dalam kemurnian praktek. Namun, tiada yang tahu pasti di mana ia berdiam saat itu.

15.


Di sebuah kerajaan kecil yang menjadi taklukan Tokharistan ...

Ts’ai Yin dkk. tiba pada sebuah stūpa di balik rerimbunan rumpun pisang. Alunan doa terdengar dari mulut seorang bhikṣu berjubah kāṣāya yang sedang menyembah stūpa. Penampilannya terlihat tenang dan berwibawa. Ts’ai Yin sudah bisa menebak: “Pastilah ini Kāśyapa Mātaṅga!”

Dari informasi yang mereka dapat, kabarnya Kāśyapa Mātaṅga berada di selatan dan telah menjadi guru kesayangan Raja. Kini akhirnya berhasil juga mereka temukan tempat kediamannya. Rasa lelah setelah perjalanan berhari-hari seolah-olah sirna dalam seketika. Tanpa membuang-buang waktu, Ts’ai Yin pun bernamaskāra mengikuti kebiasaan orang India di bawah kaki Kāśyapa Mātaṅga, dan mengutarakan niat untuk mengundangnya membabarkan Dharma ke Cina sesuai titah Kaisar Han Ming-ti.

Kāśyapa menghentikan alunan doanya dan terdiam sejenak. “Cina — bukankah itu negeri dengan peradaban tinggi?”

“Ya. Benar, Tuan. Kaisarnya memerintah dengan kebajikan, dan rakyatnya juga menjunjung tinggi kesusilaan. Itulah negeri Cina.”

“Aku pernah mendengar tentang hal itu, dan memang sudah lama berniat menuju ke sana.”

Maka setelah menyatakan kesediaannya, Kāśyapa Mātaṅga pun mempersiapkan segala sesuatunya. Adapun usianya telah cukup lanjut saat itu.



16.


Ts’ai Yin juga mengajak sahabat Kāśyapa Mātaṅga yang bernama Gobharaṇa, seorang bhikṣu terkemuka, untuk ikut ke Cina. Akan tetapi, perjalanan tidak berlangsung mulus begitu saja. Raja setempat menganggap Kāśyapa Mātaṅga sebagai harta nasional yang hidup dan tidak memperbolehkannya meninggalkan negeri. Maka mereka berusaha keluar dengan sembunyi, mencari jalan memutar.

Beberapa bulan sesudahnya, setelah melewati gurun pasir Asia Tengah, sampailah rombongan itu di Ibukota Luoyang. Peristiwa ini terjadi pada hari terakhir (30 Cap Ji Gwee) di tahun ke-67 era Yung-p’ing.




Kāśyapa Mātaṅga membawa serta teks-teks Dharma sejumlah kurang lebih 600.000 akṣara, atau 18.750 śloka. Śloka adalah bentuk puisi India yang terdiri atas 4 baris, masing-masing 8 sukukata. Jadi, sebait śloka memiliki 32 sukukata. Angka ini di kemudian hari digunakan untuk menghitung panjang sebuah teks walaupun teks itu bahkan berupa prosa, bukan śloka lagi.

Selain itu, mereka juga membawa relik Buddha, patung-patung, serta sebuah lukisan yang konon merupakan kopi ke-4 penggambaran patung Buddha berdiri yang dibuat Raja Udayana. (Kisah Raja Udayana yang terkenal membuat patung Buddha pertama dari kayu cendana akan diceritakan nanti.) Segala muatan tersebut diangkut oleh seekor kuda putih.

17. TAHUN BARU IMLEK: MEMPERINGATI PENERIMAAN BUDDHADHARMA SECARA FORMAL DI TIONGKOK


Kaisar Han Ming-ti amat gembira dengan kedatangan kedua bhikṣu itu. Ia juga memberi perhatian besar pada harta pusaka yang mereka bawa. Teks-teks Dharma ditempatkannya dalam kamar batu tahan-api di Paviliun Anggrek 蘭臺, yang merupakan gedung perpustakaan istana; sedangkan lukisan patung Buddha Udayana ia puja di Paviliun Jernih dan Sejuk 清涼臺 di Istana Selatan. Selain itu, ia memerintahkan agar replikanya dilukis dan digantungkan di atas Gerbang K’ai-yang 開陽門 di timur Luoyang, sehingga masyarakat dapat melihatnya dan membuat lukisan atau patung Buddha berdasarkan model tersebut. Sebuah replika lain dipamerkan di Bukit Hsien-chieh 顯節陵 yang sebenarnya dipersiapkan sebagai taman pemakamannya bila ia wafat kelak.




Keesokannya, hari pertama di tahun ke-11 era Yung-p’ing (68 M), Han Ming-ti pun mengadakan resepsi meriah untuk menyambut kedua bhikṣu itu. Ia bertanya: “Buddha digelari sebagai Dharmarāja. Mengapakah ia tidak datang mengajar ke Tiongkok atau lahir di sini saja?”

Kāśyapa Mātaṅga menjawab: “Negeri Kapilavastu terletak di Daerah Tengah (Madhyadeśa). Para Buddha di tiga masa senantiasa lahir di sana. Demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir sezaman dengan Buddha di sana adalah mereka yang memang memiliki ikatan karma, dan telah menanam akar kebaikan yang besar sehingga dapat mendengar ajaran-Nya dan tercerahkan. Makhluk-makhluk daerah lain tidak memiliki ikatan karma sehingga tidak berjumpa dengan Buddha. Walaupun begitu, cahaya belas-kasih-Nya senantiasa terpancar sama rata terhadap semua makhluk. Entah 500 tahun, 1.000 tahun, atau lebih dari 1.000 tahun kemudian — berkat keterampilan upāya-Nya — pastilah didatangkan seseorang untuk menggemakan ajaran-Nya ke daerah tersebut.”

“Jadi, tiadakah orang suci yang berdiam di Cina dan mengajarkan Dharma sebelum ini?” sambung Ming-ti.

“Ada. Di gunung terkenal negeri ini, Pañcaśīrṣa, Bodhisattva Mañjuśri selama ini berdiam dan membabarkan Dharma kepada para dewa dan naga. Akan tetapi, jika bukan manusia yang memiliki batin yang bersih, orang kebanyakan tidak dapat menjumpainya.”

Mendengar penjelasan Kāśyapa, Kaisar Han Ming-ti merasa amat bergembira.

18.


Sekarang mari kita mengenal lebih dekat tokoh utama dalam kisah ini.




Kāśyapa Mātaṅga 迦攝摩騰 adalah seorang bhikṣu dari India Tengah (Madhyadeśa) yang berkepribadian luhur. Ia berkasta brāhmaṇa, dari gotra Kāśyapa. Ia telah menembus makna sūtra-sūtra Kendaraan Kecil maupun Besar dan berkelana ke banyak negeri. Menyebarkan Ajaran dijadikannya sebagai tanggungjawabnya.

Suatu ketika ia pergi menuju ke sebuah kerajaan kecil yang berbatasan dengan India dan hendak menceramahkan Suvarṇa-prabhāsa Sūtra 《金光明經》. Saat itu musuh dari negeri tetangga sedang menyerbu kerajaan tersebut. Kāśyapa berpikir: “Suvarṇa-prabhāsa Sūtra menyebutkan bahwa di mana pun sūtra ini dibabarkan, maka tempat itu akan dilindungi dewi bumi dan diliputi kebahagiaan. Namun, kini pertempuran telah dimulai; masihkah ada gunanya aku menceramahkannya?” Walau demikian, ia tetap berceramah di tengah-tengah suasana perang.

Setiap kali musuh akan memulai serangan, selalu saja ada kejadian tertentu yang membuat mereka batal. Kejadian yang berulang-ulang membuat mereka heran, dan mereka mengira kerajaan itu pasti memiliki suatu ilmu. Akhirnya mereka mengirimkan mata-mata untuk mencari tahu. Mata-mata itu melaporkan bahwa raja, para menteri, dan rakyat kerajaan tersebut sedang mendengarkan ceramah Suvarṇa-prabhāsa Sūtra dari Kāśyapa Mātaṅga.

Maka takjublah pemimpin negeri musuh itu. Ia pun mengajukan kesepakatan damai dengan kerajaan kecil tersebut. Kāśyapa Mātaṅga berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan sejak saat itulah namanya menjadi termasyhur. Demikian di kerajaan kecil itu ia berdiam dan dijumpai oleh utusan Kekaisaran Han di kemudian hari.

19.




Gobharaṇa atau Bharaṇa Paṇḍita merupakan “rekonstruksi” yang direka penulis-penulis Tibet sewaktu membahas sejarah Buddhisme Tiongkok. Transkripsi Tionghoanya, Chu Fa-lan 竺法蘭, sebenarnya bukan satu kata tunggal. “Chu” menunjukkan daerah asal bhikṣu ini, yakni dari T’ien-chu 天竺 (Sindhu atau Indu/India). Nama “Fa-lan” barangkali lebih cocok direkonstruksi sebagai Dharmaratna atau Dharmarakṣa.

Kemungkinan rekonstruksi lainnya adalah Dharmāraṇya. Kata āraṇya (‘tanpa-perselisihan; tenang’) merujuk pada suatu tempat hening untuk melatih diri, yang biasanya berupa hutan. Berdiam dalam araṇya merupakan salah satu praktek dhūtaguṇa. Teks-teks Buddhis membedakan para āraṇyaka menjadi tiga jenis:
(1) Mātaṅga-āraṇyaka — mereka yang berdiam di pemakaman atau tempat pembakaran mayat;
(2) Daṇḍaka-āraṇyaka — mereka yang berdiam di padang belantara atau gua-gua cadas;
(3) Dharma-āraṇyaka — mereka yang berdiam dalam keheningan Dharma.
Nama-nama Kāśyapa Mātaṅga dan Dharmāraṇya barangkali bukan nama diri yang sebenarnya, melainkan julukan yang diberikan karena gaya latihan yang mereka tempuh.

Chu Fa-lan juga berasal dari India Tengah. Sejak muda ia telah meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan sanggup menghafal teks-teks Dhama hingga puluhan ribu śloka. Ia ketat dalam menjalankan vinaya dan memimpin sekitar 1.000 orang siswa. Bersama dengan kawannya, Kāśyapa, ia menerima undangan Ts’ai Yin dkk. dan setuju untuk berangkat ke Cina.

Dalam beberapa versi cerita, siswa-siswanya mencegahnya untuk meninggalkan mereka sehingga Chu Fa-lan harus pergi dengan sembunyi-sembunyi melalui jalan lain. Ia berangkat terpisah dengan Kāśyapa dan baru tiba di Luoyang setahun lebih lambat.

20.


Dalam beberapa bulan Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa mulai menguasai bahasa Tionghoa. Mereka menerjemahkan sebuah teks yang di kemudian hari dikenal sebagai Szŭ-shih-êrh chang ching 《四十二章經》 (‘Sūtra Empat Puluh Dua Fasal’). Teks ini mendapat tempat penting dalam Buddhisme Tiongkok karena merupakan teks terjemahan tertua yang masih lestari. (Kita tidak tahu judul ataupun isi teks-teks Buddhis yang — barangkali ada — diterjemahkan ke bahasa Tionghoa, yang lebih tua.)

Szŭ-shih-êrh chang ching secara ketat bukanlah benar-benar sebuah sūtra, tetapi lebih berupa antologi dari berbagai sumber (kebanyakan dari āgama-āgama). Dalam katalog-katalog lama teks ini hanya disebut sebagai Fo-ching szŭ-shih-êrh chang 佛經四十二章 (‘kutipan sūtra-sūtra Buddhis dalam 42 fasal’).

Kita juga tidak tahu apakah antologi ini disusun oleh Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa di Cina dengan merangkumkan teks-teks Dharma yang mereka bawa; ataukah memang telah tersusun di luar Tiongkok dalam suatu bahasa asing, lalu dibawa dan diterjemahkan oleh mereka berdua. Hal yang terakhir ini mungkin sebab katalog-katalog lama menyebutkan terdapatnya terjemahan lain dari Szŭ-shih-êrh chang ching oleh Chih Ch’ien 支謙 di abad ke-2 M. Terjemahan Chih Ch’ien ini sayangnya telah punah.

Selain itu, terdapat perbedaan mencolok antara Szŭ-shih-êrh chang ching yang termuat di Tripiṭaka Tionghoa dengan versi-versi yang beredar umum saat ini. Kemungkinan besar telah terjadi harmonisasi di mana terjemahan Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa yang arkaik direvisi dengan memanfaatkan bacaan-bacaan dari terjemahan Chih Ch’ien. Revisi-revisi dilakukan oleh banyak tangan secara individual di berbagai daerah sehingga menghasilkan berbagai versi Szŭ-shih-êrh chang ching kini (yang masih menyandangkan nama Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa sebagai penerjemahnya). Versi yang termuat di Tripiṭaka tampaknya paling sedikit mengalami revisi, sedangkan berbagai versi yang beredar umum telah mengalami lebih banyak revisi dengan derajat berbeda-beda. Sementara itu, Szŭ-shih-êrh chang ching yang menyandang nama Chih Ch’ien sebagai penerjemah justru punah.



21.


Jika selama ini Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa diakomodasi di wisma Direktorat Hubungan Asing (Hung-lu szŭ 鴻臚寺), maka selanjutnya Kaisar Han Ming-ti segera membangun wisma baru di luar gerbang barat Yung-men 西雍門 di Luoyang, untuk menunjang aktivitas mereka. Wisma ini diberi nama Vihāra Kuda Putih (Pai-ma szŭ 白馬寺). Penamaan ini didasarkan pada kuda putih yang digunakan untuk mengangkut pusaka-pusaka Dharma yang mereka bawa dari Barat.

Istilah szŭ 寺, seperti pada nama “Pai-ma szŭ”, semula digunakan untuk menyebut sebuah kantor direktorat, seperti: Direktorat Hubungan Asing (Hung-lu szŭ 鴻臚寺) yang mengakomodasi diplomat-diplomat dari luar negeri, Direkorat Ritus (T’ai-ch’ang szŭ 太常寺) yang menyelenggarakan persembahyangan kekaisaran, dll. Berawal dari saat itu, istilah szŭ akhirnya digunakan untuk menyebut vihāra-vihāra Buddhis.

Pai-ma szŭ di Luoyang menjadi kompleks vihāra tertua di Tiongkok yang masih berdiri sampai sekarang. Bangunan-bangunan di dalamnya telah mengalami rekonstruksi berulang-kali. Yang paling tua berasal dari zaman Sung (960–1279) — misalnya dua patung kuda putih yang mengapit gerbang masuknya. Vihāra ini menjadi pusat penting pengembangan agama Buddha mula-mula di Tiongkok. Akan tetapi, ini bukanlah satu-satunya tempat yang menggunakan nama “Pai-ma szŭ”. Ada banyak vihāra kuno di Tiongkok yang menggunakan nama yang sama, misalnya di Chien-yeh 建業 (ibukota Dinasti Tsin Timur 東晉), di Hsiang-yang 襄陽 yang menjadi tempat tinggal bhikṣu terkenal Tao-an 道安, dll.




Legenda mengatakan bahwa di luar negeri terdapat seorang raja yang menganiaya Buddhisme dan menghancurkan tempat-tempat suci. Hanya sebuah caturdiśa-vihāra 招提寺 (yakni, vihāra yang terbuka bagi saṅgha dari keempat penjuru) yang belum dihancurkan total. Setiap malam terdengarlah ringkikan pilu seekor kuda putih yang berpradakṣiṇa mengelilingi stūpa di tengah reruntuhannya. Hal ini diberitahukan kepada Raja. Maka sejak saat itu Raja pun menghentikan penghancuran situs-situs Buddhis. Caturdiśa-vihāra tadi akhirnya dibangun kembali dan dinamai Vihāra Kuda Putih. Mulai dari situlah di mana-mana berkembang kebiasaan menamakan “Kuda Putih” untuk vihāra.

22.


Sementara Vihāra Kuda Putih dibangun, di musim semi tahun kedua Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa berziarah ke Gunung Pañcaśīrṣa seperti yang telah lama mereka rencanakan. Pañcaśīrṣa, yang diterjemahkan ke bahasa Tionghoa sebagai Wu-t’ai 五台 atau Wu-ting 五頂, berarti ‘Lima Puncak’. Gunung yang menjadi bodhimaṇḍa tempat Manjuśrī melungguh ini telah dikenal di India lewat petikan teks-teks Buddhis. Ratnagarbha-dhāraṇī Sūtra 《寶藏陀羅尼經》 (T. vol. 20, № 1185), misalnya, menyatakan:

爾時,世尊復告金剛密跡主菩薩言:「我滅度後,於此贍部洲東北方,有國名大振那。其國中間,有山號曰五頂。文殊師利童子遊行居住,為諸眾生,於中說法。及有無量諸天、龍神、夜叉、羅剎、緊那羅、摩睺羅伽、人非人等,圍遶供養恭敬。」
Pada saat itu, Bhagavan bersabda kepada Bodhisattva Vajrapāṇi, sang penguasa misteri (guhyādhipāti): “Setelah Aku parinirvāṇa, di sebelah timur laut dari Jambudvīpa ini adalah sebuah negeri yang bernama Mahācīna. Di negeri tersebut terdapat gunung yang disebut Pañcaśīrṣa. Mañjuśrī Kumārabhūta akan berkelana dan menetap di sana, membabarkan Dharma demi semua makhluk. Juga terdapatlah dewa, naga, yakṣa, rākṣasa, kinnara, mahoraga, manusia dan bukan-manusia yang tidak terbilang, yang akan mengelilingi, memuja, dan menghormati-Nya.”

Dipadati oleh peziarah Buddhis Tionghoa, Tibet, maupun Mongol kini, Gunung Pañcaśīrṣa (Tib. Riwo tsenga རི་བོ་རྩེ་ལྔ) juga dikenal dengan sebutan Gunung Jernih dan Sejuk (Cn. Ch’ing-liang shan 清涼山; Tib. Riwo dangsil རི་བོ་དྭངས་བསིལ). Sebutan ini berasal dari Sūtra tentang Tempat Kediaman Para Bodhisattva 〈菩薩住處品〉 yang merupakan kitab ke-27 dalam Avataṃsaka LX (T. vol. 9, № 278 hlm. 590a):

東北方有菩薩住處,名清涼山。過去諸菩薩常於中住。彼現有菩薩,名文殊師利,有一萬菩薩眷屬,常為說法。
Di timur laut terdapatlah tempat kediaman (pīṭha) bodhisattva yang disebut Gunung Jernih dan Sejuk. Para bodhisattva di masa lampau kerap bersemayam di tengahnya. Dan di sana kini adalah seorang Bodhisattva bernama Manjuśrī, yang memiliki 10.000 bodhisattva sebagai pengikut, senantiasa membabarkan Dharma.




Dalam kitab legenda Sanskerta, Svayambhu Purāṇa, bangsa Nepal juga percaya bahwa Mañjuśrī tinggal di Gunung Pañcaśīrṣa di negeri Mahācīna. Mañjuśrī mendengar bahwa Ādibuddha menampakkan diri dalam wujud lidah api yang menyala di atas sekuntum teratai di Danau Kālīhrada. Untuk menyembah-Nya, maka ia pergi ke sana bersama Raja Dharmākara dan pengikut-pengikutnya. Mañjuśrī hendak mendirikan sebuah caitya bagi Ādibuddha. Jadi, ia pergi ke sisi selatan danau dan, dengan pedangnya, membelah bukit untuk membuka celah. Air danau pun surut, mengalir dari celah tersebut sebagai Sungai Bāghmatī. Dari bekas Danau Kālīhrada yang mengering, terciptalah Lembah Kathmandu. Caitya yang didirikan Manjuśrī bagi Ādibuddha di kemudian hari dikenal sebagai Svayambhunātha Stūpa. Manjuśrī sendiri kemudian kembali ke Gunung Pañcaśīrṣa setelah menyelesaikan segala pekerjaannya, sedangkan Raja Dharmākara dan pengikut-pengikutnya menetap di Lembah Kathmandu dan menjadi nenek-moyang bangsa Nepal sekarang.

23.


Yang menjadi fokus perziarahan Gunung Pañcaśīrṣa adalah sebuah stūpa yang terletak di tengah-tengah lembah, dekat Puncak Bodhisattva (P’u-sa ting 菩薩頂) kini. Tatkala Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa tiba di Wu-t’ai shan, stūpa kuno itu sudah ada di sana. Tiada yang tahu kapan atau oleh siapa stūpa itu dibangun.

Melalui pengamatan mata batin, tahulah mereka bahwa stūpa itu berisi relik Buddha Śākyamuni sendiri. Ketika Beliau parinirvāṇa, relik-Nya disimpan dalam Delapan Stūpa Agung. Kedelapan stūpa itu dibuka oleh Maharaja Aśoka sewaktu ia mencanangkan misi penyebaran Buddhadharma, dan isinya dipecah menjadi 84.000 bagian. Demi menguntungkan banyak makhluk, sebagian relik disebar ke seluruh dunia dengan bantuan para yakṣa dan ditempatkan dalam stūpa-stūpa yang dibangun dalam semalam. Di Cina relik tersebut konon tersebar di 19 titik. Stūpa di lembah Wu-t’ai shan ini pastilah salah satunya.




Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa mendirikan pertapaan dekat stūpa itu. Karena suasana di Wu-t’ai shan mirip dengan Gunung Gṛdhrakūṭa (Cn. Ling-chiu shan 靈鷲山) di India, maka mereka menamainya Pertapaan Gṛdhrakūṭa. Tidak berapa lama, mereka mulai memiliki pengikut beberapa orang Taois yang tinggal di sekitar Wu-t’ai shan, yang tertarik mempelajari Buddhisme dan hidup sebagai anāgārika di pertapaan itu.

24.


Keadaan Wu-t’ai shan sebelum dan pada zaman Dinasti Han tidaklah seramai sekarang, bahkan namanya jarang disebut-sebut. Terselubung hutan lebat, semula tidak ada jalan untuk menembusnya. Kadang-kadang harimau, macan tutul, atau hewan buas lain menampakkan diri di sana.

Gunung ini awalnya dikenal sebagai Gunung Tzŭ-fu 紫府山 (‘Gunung Griya Ungu’) di kalangan Taois. Mulai zaman Han beberapa praktisi Taoisme bertopi kuning memang sudah berdiam di kakinya. Setiap malam purnama, di puncak-puncaknya selalu muncul cahaya aneh yang berkelap-kelip. Orang-orang mengira bahwa para resi pasti sedang berhimpun pada saat itu. Oleh karena itulah, gunung ini dinamakan Kediaman Ungu — ungu merujuk pada warna jubah kebesaran resi Taois.

Kadang-kadang di sana terlihat seorang diri resi muda yang rambutnya berkundai lima dan berkalungkan hiasan tiga buah bandul. Di waktu lain nampak dari kejauhan sekelompok anak-anak bermain kejar-kejaran. Apabila didekati, bahkan jejak mereka pun tidak kelihatan. Atau kadang-kadang ada yang berhasil mengejar, namun mereka dengan cepat melarikan diri ke rerimbunan hutan dan tidak ditemukan lagi.




Saat mulai banyak orang yang tinggal di Wu-t’ai shan, resi berkundai lima itu semakin jarang menampakkan diri. Kaum Taois biasa menyebutnya Resi Berjubah Polos (Su-i hsien 素衣仙). Sejak kedatangan Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa, resi itu tidak pernah terlihat lagi. Orang-orang juga baru mengerti bahwa sesungguhnya ialah Mañjuśrī Kumārabhūta setelah mereka menjelaskannya.

25.


Sekembalinya mereka ke Luoyang, Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa menceritakan kepada Kaisar Han Ming-ti pengalaman selama di Gunung Pañcaśīrṣa. Mereka juga memohon izin untuk pertapaan yang mereka dirikan dekat stūpa. Kaisar bukan hanya menyetujui, tetapi juga bersedia mendanai pembangunannya menjadi sebuah kompleks vihāra. Inilah vihāra kedua yang dibangun di zaman Han atas sponsor kekaisaran.

Jika sebelumnya pertapaan ini hanya dinamakan Pertapaan Gṛdhrakūṭa (Ling-chiu szŭ 靈鷲寺), Kaisar lalu menambahkan dua huruf ta-fu 大孚 (‘keimanan besar’) di depannya sehingga namanya menjadi Ta-fu ling-chiu szŭ. Hal ini menunjukkan dedikasi Han Ming-ti bagi agama Buddha.




Ta-fu ling-chiu szŭ telah beberapa kali berganti nama. Pada zaman Dinasti-Dinasti Utara dan Selatan 南北朝 sekitar 200-an vihāra Buddhis telah berdiri di Wu-t’ai shan dan, di bawah Dinasti Wei Utara 北魏 (386–534), Ta-fu ling-chiu szŭ kini dinamai Hua-yüan szŭ 花園寺 (‘Vihāra Taman Bunga’). Namun, masyarakat secara populer lebih suka memanggilnya Vihāra Stūpa Buddha Agung 大浮圖寺.

Pada zaman T’ang, Kaisar T’ai-tsung 唐太宗 melakukan pemugaran dan mengganti namanya menjadi Vihāra Mahā-Avataṃsaka 大華嚴寺.




Mulai zaman Ming dan seterusnya vihāra ini disebut Hsien-t’ung szŭ 顯通寺 atau Ta hsien-t’ung szŭ 大顯通寺, atau lengkapnya Ta-chi-hsiang hsien-t’ung szŭ 大吉祥顯通寺. (Hsien-t’ung berarti ‘penembusan spiritual yang manifes’.) Bangunan-bangunan bertingkat dalam kompleks vihāra ini didirikan tanpa menggunakan balok-balok belandar penyangga atap dan hanya mengandalkan kekuatan tembok-temboknya — menunjukkan kemajuan teknologi pembuatan bata di awal zaman Ming.

Balai Tembaga 銅殿 yang didirikan pada tahun ke-37 era Wanli 萬曆 (1609) memiliki tinggi sekitar 8,3 m dan dikelilingi pagoda-pagoda. Gedung ini dibangun menghabiskan 50 ton tembaga, dan di dalamnya terdapat patung Mañjuśrī yang duduk di atas singa. Dinding-dindingnya dihiasi dengan dekorasi 10.000 miniatur Buddha dari tembaga.

26.




Stūpa Aśoka kuno itu sendiri telah beberapa kali mengalami perombakan. Stūpa ini semula berada dalam halaman selatan dari Ta-fu ling-chiu szŭ. Sejak tahun ke-5 era Yung-lo 永樂 (1407) dari Dinasti Ming, lahan tersebut dipecah oleh sida-sida Yang Shêng 楊昇 atas titah kaisar. Sebuah vihāra baru didirikan mengelilingi stūpa tersebut dan diberi nama sederhana T’a-yüan szŭ 塔院寺 (‘Vihāra Pelataran Stūpa’).




Struktur stūpa sebelumnya kecil, bertingkat dua dan bersisi delapan. Peziarah Jepang Ennin 圓仁, yang pada zaman T’ang datang untuk mencari Dharma ke Wu-t’ai shan, menulis dalam jilid 3 catatan perjalanannya, Nittō guhō junreikōki 《入唐求法巡禮行記》:

【開成五年五月十七日】
閣前有塔,二層八角,莊校殊麗。底下安置阿育王塔,埋葬地下,不許人見。是阿育王所造八萬四千塔之一數也。
TAHUN KE-5 ERA K’AI-CH’ÊNG (840), BULAN 5 TANGGAL 17: … Di depan gedung (Vihāra Avataṃsaka) ada sebuah stūpa bertingkat dua bersisi delapan, yang terhias amat indahnya. Di bawahnya tersimpan stūpa Raja Aśoka, terkubur dalam tanah dan tidak boleh dilihat orang. Dari 84.000 stūpa yang dibuat Raja Aśoka, itulah salah satunya.


Dahulu stūpa tersebut hanya disebut “stūpa mustika śarīra dari tubuh sejati Buddha Śākyamuni” 釋迦文佛真身舍利寶塔. Entah sejak kapan ia jadi bernama Stūpa Mustika Ta-tz’ŭ Yen-shou 大慈延壽寶塔 atau Stūpa Tz’ŭ-shou 慈壽塔. Sampai pada tahun ke-6 era Ta-tê 大德 (1302) dari Dinasti Yüan/Mongol, sebuah stūpa besar dibangun dengan rancangan dari arsitek terkenal Arniko dari Nepal, menyelubungi stūpa yang lama. Stūpa baru ini juga tidak memiliki nama khusus; masyarakat hanya menyebutnya Ta pai-t’a 大白塔 (‘Stūpa Putih Agung’).

Stūpa di Wu-t’ai shan hanya berselisih sedikit tingginya dengan stūpa putih di Vihāra Miao-ying 妙應寺, Peking, yang juga dirancang Arniko, yakni sama-sama sekitar 50 m. (Bedakan dengan stūpa putih lain yang juga terkenal di Peking, di Taman Pei Hai 北海, yang hanya memiliki ketinggian 15 m.) Stūpa Wu-t’ai shan terbuat dari bata dan dikapur sebelah luarnya sehingga berwarna putih.

Dasar stūpa memiliki keliling 83,3 m. Keseluruhan stūpa, jikalau diukur dari dasarnya, mencapai tinggi 75,3 m. Acungan stūpa terdiri atas 13 tingkat dan menyangkutkan sebuah kanopi dari tembaga bersepuh. Di sekeliling kanopi tergantung bel-bel kecil sejumlah 252. Di puncak kanopi ada hiasan berupa stupa kecil yang juga terbuat dari tembaga bersepuh.




Kompleks T’a-yüan szŭ mengalami renovasi pada tahun ke-7 era Wan-li (1579) atas prakarsa Ibu Suri Li. Renovasi dipimpin oleh sida-sida Fan Chiang 范江 dan Li Yu 李友. Catatan tentang hal ini diukirkan pada prasasti yang dibuat oleh Menteri Sekretaris Negara Chang Chü-chêng 張居正 (1525–1582). Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1952 di masa Repulik Cina.

T’a-yüan szŭ menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi oleh umat Buddhis Tibet dan Mongol saat memulai ziarahnya ke Wu-t’ai shan.




Ada tiga buah relung sempit di dasar Stūpa Putih: relung pertama berisi relief patung Buddha, relung kedua di kanan berisi impresi sepasang telapak kaki Buddha (śrīpada), sedangkan relung ketiga di kiri berisi prasasti yang dibuat Kaisar K’ang-hsi 康熙 dari Dinasti Ch’ing/Manchu ketika merenovasi stūpa ini.




Catatan lama hanya menyebutkan terdapatnya sebuah impresi śrīpada di sisi kiri stūpa lama. Tidak ada yang tahu apakah śrīpada tersebut memang sudah ada bersama stūpa Aśoka kuno yang ditemukan Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa, ataukah dikopi dari gambar śrīpada yang dibawa peziarah zaman T’ang, Hsüan-tsang 玄奘, sekembalinya ia dari Barat.




Batu śrīpada yang ada sekarang baru dipahat pada era Wan-li dari zaman Dinasti Ming. Batu yang lama tentu saja tersegel di dalam Stūpa Putih bersama pagoda lama.




Pradakṣiṇa-patha di kaki Stūpa Putih.




Roda-roda doa terdapat di empat penjuru di sekeliling Stūpa Putih.











27.


Kaisar Han Ming-ti adalah seorang yang lurus hati dan baik budi. Ia merupakan administrator yang cakap dan pemimpin yang adil. Ia pekerja keras dan menghendaki semua bawahannya menjaga integritas dalam bekerja. Masa pemerintahannya dinamainya Era Yung-p’ing 永平 (‘Kedamaian Abadi’), dan merupakan masa keemasan Dinasti Han pasca pemindahan ibukota ke Luoyang.

Sebagai anak kedua Kaisar Han Kuang-wu-ti 漢光武帝, ia terlahir dengan nama Liu Yang 劉陽. Ia menjadi putra mahkota menggantikan kakak tirinya, Liu Chiang 劉疆, yang menolak posisi tersebut. Namanya kemudian diganti menjadi Liu Chuang 劉莊.

Ia naik takhta pada tahun 57 setelah Kuang-wu-ti mangkat. Walaupun telah menjadi kaisar, ia selalu menjaga kerukunan antarsaudara lain ibu. Namun, iri hati tetap saja muncul di antara sebagian adik-adik tirinya. Salah satu peristiwa yang terkenal adalah rencana makar Pangeran Liu Ying 劉英.

Liu Ying adalah satu-satunya anak Kuang-wu-ti yang bukan dilahirkan oleh ratu-ratunya. Ibunya, yang bermarga Hsü 許氏, hanya seorang selir rendah. Sebetulnya ia merupakan adik yang paling karib dengan Han Ming-ti. Pada tahun 41 ia diangkat menjadi raja muda (wang 王) dan memimpin negara bagian Ch’u 楚. (Feodalisme, yang dihapuskan oleh Kaisar Ch’in Shih Huang, dihidupkan kembali di masa Han.)

Sejak muda Liu Ying tertarik mempelajari Taoisme Huang-Lao dan Buddhisme. Seperti kebanyakan orang di zaman Han, ia tidak membedakan keduanya dan menganggapnya sama saja. Ia menekuni puasa Buddhis 浮屠齋戒 dan melakukan persembahyangan Taois 祭祀. Namun, niatan sesungguhnya tidak benar-benar tulus. Liu Ying semata-mata hanya ingin mencari kesaktian agar dapat hidup abadi.

Pada tahun ke-8 era Yung-p’ing (65 M), yakni sebelum kedatangan Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa, aktivitas pemberontakannya mulai dicurigai. Ia memohon pengampunan agar terhindar dari hukuman mati. Untuk menebus kesalahan, dikirimkannya bergulung-gulung kain sutra kuning dan putih kepada sidang istana. Setelah beberapa lama, permohonan maafnya diterima. Menurut Buku Dinasti Han Belakang (Hou-han Shu 《後漢書》), bagian “Biografi Sepuluh Raja Muda dari Kaisar Kuang-wu” 光武十王列傳, Kaisar Han Ming-ti menurunkan titah:

楚王誦黃老之微言,尚浮屠之仁祠,潔齋三月,與神為誓。何嫌何疑,當有悔吝?其還贖,以助伊蒲塞、桑門之盛饌。」
“Raja Muda Ch’u melafalkan sabda-sabda yang halus dari Huang-lao. Ia bahkan mengagungkan prinsip cinta-kasih Buddha dalam peribadatan. Ia telah berpuasa dengan murni tiga bulan dan membuat komitmen di hadapan dewa. Mengapa kita masih ragu akan penyesalannya? Biarlah tebusannya dikembalikan dan didermakan untuk menyokong kesejahteraan para i-p’u-sai (upāsaka) dan sang-mên (śramaṇa).”




Sayangnya penyesalan Liu Ying penuh kepura-puraan. Pada tahun ke-13 era Yung-p’ing (70 M) ia dijumpai menggunakan ilmu hitam, dan tulisan yang berisi rencana untuk melakukan makar beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya ditemukan. Akan tetapi, lagi-lagi Kaisar Han Ming-ti mengampuninya dari hukuman mati. Liu Ying hanya dicabut statusnya sebagai raja muda dan dihukum buang. Tahun berikutnya ia bunuh diri karena putus asa.

Namun, permasalahan tidak selesai sampai di situ. Menghukum buang Liu Ying hanya kebijaksanaan dari Han Ming-ti. Selanjutnya, ia tetap melakukan penyelidikan atas daftar nama orang-orang yang disebut dalam tulisan Liu Ying. Mereka yang telah melakukan konspirasi diinterogasi dan disiksa. Akibatnya, mereka menyebutkan lagi nama-nama lain yang mereka tuduh ikut berkonspirasi. Seringkali hal itu tidak benar dan menyebabkan orang-orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu juga ditangkap dan diinterogasi. Ratusan hingga ribuan orang yang tak bersalah mati selama interogasi atau penyiksaan. Peristiwa kelam ini untungnya berhasil diredam berkat intervensi Permaisuri Ming-tê 明德皇后, dan penyelidikan lebih lanjut pun dihentikan.

28. TITIK KEDUA


Di sebelah tenggara dari Vihāra Kuda Putih ada gundukan tanah yang tertutup dalam sebuah bangunan. Kāśyapa Mātaṅga menanyakan kepada Kaisar Han Ming-ti bangunan apakah itu.

Kaisar menjawab: “Sejak dahulu di situ ada suatu gundukan tanah kurang lebih sepuluh kaki tingginya. Orang-orang pernah mencoba untuk meratakannya, namun tidak berapa lama gundukan itu muncul kembali secara ajaib. Di malam hari kadang-kadang gundukan itu mengeluarkan cahaya ganjil. Maka orang-orang mengira itu sebuah makam keramat dan menyembahyanginya. Mereka menganggap penunggunya ialah dewa pelindung Kota Luoyang.”

Kāśyapa Mātaṅga berkata: “Maharaja Aśoka pernah memecah relik Buddha menjadi 84.000 bagian dan menempatkannya dalam stūpa-stūpa di seluruh dunia. Di Cina relik tersebut tersebar di 19 titik. Gundukan itu pastilah berisi salah satunya.”

Kaisar amat terkejut. Mengikuti Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa, dihampirinya gundukan tersebut, dan bernamaskāralah ia bersama-sama mereka. Tiba-tiba gundukan itu memancarkan cahaya terang. Ia melihat bayangan dirinya beserta kedua arhat di tengah cahaya tersebut, jernih seolah-olah pantulan cermin. Mengertilah ia bahwa adegan itu merupakan rekaman dari masa lalu yang meramalkan pertemuannya dengan kedua arhat hari ini di sini. Para penjaga dan pelayan di sekitarnya berseru dengan serempak: “Wan-sui 萬歳! (artinya ‘semoga panjang umur’).”

Peristiwa ini terjadi di tahun ke-12 era Yung-p’ing (69 M), bulan 2 tanggal 8. Han Ming-ti berkata: “Jikalau tidak berjumpa dengan Bhadanta berdua, bagaimana mungkin saya mengetahui perlindungan yang telah ditinggalkan Buddha yang Mahasuci.”

Maka pada bulan berikutnya tanggal 1, diperintahkannya agar sebuah stūpa (pagoda) dibangun di atas gundukan tanah itu. Pagoda itu bersisi empat dan memiliki acungan yang bertingkat sembilan. Tingginya kurang lebih 200 kaki.

Pada bulan 12 tanggal 8 di tahun berikutnya, selesailah pembangunan pagoda tersebut. Cahaya terang lagi-lagi terpancar daripadanya. Wewangian surgawi merebak di sekitar pagoda. Kaisar beribadah dengan sukacita di sana, dan cahaya itu pun memudar selepas tengah hari seiring kepulangannya.



Pagoda yang di kemudian hari dikenal dengan nama Pagoda Ch’i-yün 齊雲塔 ini masih terdapat dalam kompleks Vihāra Kuda Putih sekarang. Pagoda asli yang terbuat dari kayu telah hangus tersambar petir sehingga dibangun kembali beberapa kali sepanjang sejarah.

Pagoda yang ada kini didirikan pada tahun ke-15 era Ta-ting 大定 (1175) dari Dinasti Chin 金朝. Pagoda ini dibangun setelah tentara Chin (Jürchen) menghanguskan pagoda yang sebelumnya di masa akhir kekuasaan Dinasti Sung. Struktur yang sekarang terbuat dari bata dan memiliki 13 tingkat. Tingginya sekitar 35 m.



Tulisan pada pagoda terbaca “Pagoda Śarīra Śākya[muni]” 釋迦舍利塔.

29.


Setelah pendirian pagoda, pembangunan kompleks Vihāra Kuda Putih akhirnya benar-benar rampung di hari pertama tahun ke-14 Yung-p’ing (71 M). Dinding-dinding vihāra dihiasi dengan lukisan-lukisan ribuan kereta kuda yang sedang mengelilingi stūpa tiga kali. Kaisar Han Ming-ti sendiri mengadakan peresmian.

Hal ini menyulut kecemburuan para padri Tao yang selama ini menganggap Kaisar, sang Putra Langit, telah meninggalkan Dharma mereka, sementara itu memberikan perhatian yang berlebihan pada agama asing Buddha. Padahal, ajaran Taoisme Huang-Lao yang mereka anut sendiri baru populer di zaman Han. Jika sebelumnya tokoh Lao-tzŭ hanya disembahyangi sebagai filsuf besar yang telah meninggal — seperti yang dilakukan orang Tionghoa dalam menghormati leluhurnya —, maka Taoisme Huang-Lao memperkenalkan adanya deitas Yang Mahatinggi (T’ai-shang t’ien-tsun 太上天尊) yang diyakini telah menitis berkali-kali sebagai awatara penyelamat dunia, antara lain sebagai Huang-ti dan Lao-tzŭ.

Rasa iri mereka semakin memuncak ketika di Wu-t’ai shan Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa berhasil menarik minat sebagian Taois untuk mempelajari Buddhisme. Apalagi kini Kaisar telah menyelesaikan kompleks vihāra besar di Luoyang untuk kedua arhat. Padri-padri Wu-t’ai shan menghubungi para padri dari gunung-gunung suci Taois lainnya dan bermufakat mengajukan pernyataan protes kepada Kaisar. Pernyataan itu ditandatangani 690 orang (menurut sumber lain 1.310 orang), antara lain oleh para padri dari Lima Puncak:

  1. Dari Puncak Selatan, Gn. Hêng 衡嶽, sejumlah 70 orang yang dipimpin oleh Ch’u Shan-hsin 褚善信.
  2. Dari Puncak Barat, Gn. Hua 華嶽, sejumlah 70 orang yang dipimpin oleh Liu Chêng-nien 劉正念.
  3. Dari Puncak Utara, Gn. Hêng 恒嶽, sejumlah 70 orang yang dipimpin oleh Huan Wên-tu 桓文度.
  4. Dari Puncak Timur, Gn. T’ai 岱嶽, sejumlah 70 orang yang dipimpin oleh Chiao Tê-hsin 焦德心.
  5. Dari Puncak Tengah, Gn. Sung 嵩嶽, sejumlah 140 orang yang dipimpin oleh Lü Hui-t’ung 呂惠通.

Lalu ada pula 270 padri yang dipimpin oleh Ch’i Wên-hsin 祁文信, yang berasal dari 8 gunung (atau 18 gunung), antara lain:— Gn. Huo 霍山, Gn. T’ien-mu 天目山, Gn. Wu-t’ai 五臺山, Gn. Jih-yün 日雲山, Gn. Pai-lu 白鹿山, Gn. Kung 宮山, dll.