Laman

32.


Para Taois telah menyiapkan berbagai kayu-kayuan wangi seperti cendana dan gaharu untuk bahan bakar. Mereka mengelilingi altar, membakar dupa, dan mulai berdoa:

“O Yang Mahatinggi, kitab-kitab-Mu telah Kaubukakan bersamaan dengan penciptaan [segala sesuatu]. Sejak dahulu hingga sekarang, orang-orang bajik senantiasa menuruti dan tidak melalaikannya. Namun, kini agama asing telah masuk mengacaukan Cina, dan sang Penguasa meyakini kesesatan. Ajaran ortodoks kehilangan jejak, iklim (pengkajian) misteri [Tao] terputus kesinambungannya. Maka kami memberanikan diri menempatkan kitab-kitab suci di altar dan mengujinya dengan api. Niat kami hanyalah demi menunjukkan kepada semua makhluk dan membedakan yang benar dengan yang palsu. Mohon cintakasih-Mu kiranya Kautampakkan dengan mukjizat-Mu!”




Api pun mulai disulutkan. Akan tetapi, kitab-kitab Tao dan tulisan-tulisan filsafat habis terpanggang. Kitab-kitab kedua śramaṇa, sebalinya, tetap utuh dan sedikit pun tidak terjilat api. Para Taois benar-benar kehilangan muka. Ch’u Shan-hsin dan Fei Shu-ts’ai bahkan mati kaget di tempat. Padri-padri dari Puncak Selatan kelabakan dan pada akhirnya buru-buru pulang, hendak menguburkan mayat keduanya.

Padri-padri lain yang merasa malu ingin melarikan diri dengan menggunakan kekuatan gaib. Namun, ilmu mereka seolah-olah punah. Mereka yang tadinya dapat menghilang, lupa akan mantranya; mereka yang dapat terbang ke angkasa tiba-tiba tidak dapat terbang; demikian pula mereka yang dapat menyembunyikan diri ke dalam tanah, menyeberangi air tanpa tenggelam, melewati kobaran api tanpa terbakar — semuanya kehilangan kemampuannya.

Astrolog istana, Chang Yen 張衍, pun berseru: “Uji kitab-kitab kalian tidak terbukti! Ternyata isinya kebohongan. Ajaran dari Baratlah yang merupakan Dharma yang sejati.”