Laman

15.


Di sebuah kerajaan kecil yang menjadi taklukan Tokharistan ...

Ts’ai Yin dkk. tiba pada sebuah stūpa di balik rerimbunan rumpun pisang. Alunan doa terdengar dari mulut seorang bhikṣu berjubah kāṣāya yang sedang menyembah stūpa. Penampilannya terlihat tenang dan berwibawa. Ts’ai Yin sudah bisa menebak: “Pastilah ini Kāśyapa Mātaṅga!”

Dari informasi yang mereka dapat, kabarnya Kāśyapa Mātaṅga berada di selatan dan telah menjadi guru kesayangan Raja. Kini akhirnya berhasil juga mereka temukan tempat kediamannya. Rasa lelah setelah perjalanan berhari-hari seolah-olah sirna dalam seketika. Tanpa membuang-buang waktu, Ts’ai Yin pun bernamaskāra mengikuti kebiasaan orang India di bawah kaki Kāśyapa Mātaṅga, dan mengutarakan niat untuk mengundangnya membabarkan Dharma ke Cina sesuai titah Kaisar Han Ming-ti.

Kāśyapa menghentikan alunan doanya dan terdiam sejenak. “Cina — bukankah itu negeri dengan peradaban tinggi?”

“Ya. Benar, Tuan. Kaisarnya memerintah dengan kebajikan, dan rakyatnya juga menjunjung tinggi kesusilaan. Itulah negeri Cina.”

“Aku pernah mendengar tentang hal itu, dan memang sudah lama berniat menuju ke sana.”

Maka setelah menyatakan kesediaannya, Kāśyapa Mātaṅga pun mempersiapkan segala sesuatunya. Adapun usianya telah cukup lanjut saat itu.