Laman

30.


Pada tanggal 9 di bulan pertama itu, pernyataan protes Ch’u Shan-hsin dkk. disampaikan ke Istana Kebahagiaan Lama 長樂宮 melalui Direktur Departemen Dalam Negeri, Sung Hsiang 宋庠. Pernyataan itu berbunyi:


“Siswa Tiga Misteri (San Tung) Yang Mahatinggi dari Lima Puncak dan Delapan Belas Gunung,
Taois Ch’u Shan-hsin dkk. sejumlah 690 orang,
berlayak untuk dihukum mati sebab berani berkata-kata.


Bahwasanya:

Yang Mahatinggi tiada bentuk, tiada nama, tiada batas, tiada tara, hampa dan alamiah. Jalan Agung adalah permulaan asali semenjak terciptanya [segala sesuatu]. Ajaran Tao sejak melahirkan Junjungan yang Tanpa Aksi, Sang Bapa Alam, selalu dituruti para leluhur purba bersama-sama; raja-raja juga tiada yang beralih daripadanya.

Kini Paduka menempuh Jalan yang melebihi [Fu]-hsi dan Huang-[ti], memiliki kebajikan yang melampaui [Raja] Yao dan Shun. Kegemilangannya membasahi empat samudra, kedelapan penjuru beroleh belas-kasihnya. Namun, kami merasa Paduka telah meninggalkan pangkal dan mengejar ujung: mencari Ajaran hingga ke negeri Barat. Kami mengamati yang dipuja di negeri Barat itu hanyalah seorang guru barbar. Apa yang disabdakan-Nya tidak sesuai dengan [budaya] Hua-hsia (Cina).

Selain itu pendeta-pendeta dari guru barbar itu juga telah diundang untuk menerjemahkan ucapan-Nya supaya serupa dengan bahasa Han. Kami berpikir meskipun Paduka dapat menerjemahkan ucapan-Nya, namun dikhawatirkan itu bukanlah Jalan yang Agung. Jikalau tidak percaya, biarlah Paduka menimpakan kemurkaan atas kesalahan kami — tetapi, bolehlah coba dibuktikan!

Kami, para Taois dari Lima Puncak dan gunung-gunung lainnya, banyak yang memiliki keahlian dan kebijaksanaan, dan telah menembus [makna] kitab-kitab suci. Semenjak kaisar yang dahulu, kami telah sanggup memahami semua ilmu dari kitab Yang Mahatinggi, serta mahir di dalam jimat dan jampi Kehampaan Agung. Ada [di antara kami] yang bisa menelan jimat dan menahan energi (ch’i), ada yang bisa mengikat dan memerintah roh-roh dan hantu-hantu, ada yang bisa memasuki api tanpa terbakar, ada yang bisa melangkah di air tanpa tenggelam, ada yang bisa terbang ke langit di siang bolong, ada yang bisa menyembunyikan bentuk ke dalam tanah, hingga yang pandai dalam ilmu pengobatan — tiada satu pun yang tidak dikuasai.

Kiranya Paduka mengizinkan kami untuk beradu [dengan pihak Buddhis] sehingga:
  1. Para suci yang di atas menjadi tenang pikirannya.
  2. Yang benar dan yang palsu dapat terbedakan.
  3. Dapat mengembalikan [banyak orang] ke Jalan Agung.
  4. Tidak menimbulkan kekacauan di antara rakyat Cina.
Jika dalam pertandingan itu hasilnya tidak sesuai, kami bersedia menanggung hukuman berat di atas. Tetapi, jikalau kami memenangi pertandingan, mohon kiranya segala kesesatan dibasmi.

Kami sekalian dengan tulus merasa takut. Kami berlayak untuk dihukum mati!


[Demikian] harap didengar.”




Kaisar Han Ming-ti sendiri pada saat itu sudah memiliki cukup pengetahuan setelah menerima Ajaran dari Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa. Dengan penuh keyakinan kepada Dharma, dua hari berikutnya ia membuka kesempatan audiensi bagi pihak Taois. Padri Ch’u Shan-hsin 褚善信, Fei Shu-ts’ai 費叔才, dan beberapa perwakilan dari Puncak Selatan datang ke Istana Kebahagiaan Lama untuk bertanya-jawab.

Kaisar menjelaskan beberapa prinsip Buddhadharma kepada mereka, di antaranya tentang konsep Kebuddhaan dan Nirvāṇa. Akan tetapi, mereka sukar menangkapnya. Mereka malah menawarkan pertandingan lain sebagai ganti debat filosofis: menumpuk kitab-kitab suci dari kedua ajaran dan membakarnya untuk membuktikan mana yang benar. Kaisar akhirnya menyetujuinya: “Kalau begitu, bawalah kitab-kitab Tuan pada pagi-pagi hari ke-15 bulan ini ke gerbang selatan Vihāra Kuda Putih.”

Han Ming-ti merasa khawatir. Akan tetapi, menanggapi tantangan ini, Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa membesarkan hatinya: “Ketika Buddha masih hidup di dunia, di India sendiri bahkan terdapat 95 aliran kepercayaan yang berbeda-beda, dan air Dharma-Nya belum pernah terbinasakan oleh api. Ratusan tahun setelah Beliau parinirvāṇa, Dharma-Nya akhirnya mengalir ke negeri ini. Tentu ini bukanlah kebetulan belaka. Jika para Taois menginginkan pertandingan, mungkin memang sudah saatnya.

“Paduka memiliki karma baik yang besar sehingga dapat merajai seluruh Cina, berjumpa dengan Buddhadharma, dan memiliki keyakinan di dalamnya. Paduka bahkan berniat membimbing banyak orang menuju Perlindungan yang Sejati. Maka percayakanlah segalanya pada kekuatan para Buddha dan Saddharma itu sendiri. Peristiwa ini nanti akan menggugah banyak makhluk menuju keyakinan. Jadikanlah momen ini sebagai dasar bagi tumbuhnya laksaan daun Bodhi.”