Laman

36.


Gobharaṇa berhasil merebut hati banyak orang kepada Dharma. Dalam ceramahnya malam itu, ia juga menerangkan setiap perbuatan baik ataupun buruk pasti akan menyebabkan akibat. Jalannya karma tidak selesai hanya dalam satu kehidupan. Kita masih akan terlahir kembali dalam enam gati selama karma baru terus diproduksi. Akarnya karena kita masih memiliki nafsu, kebencian, dan kebodohan. Gaya hidup yang kondusif untuk latihan mengikis ketiganya adalah dengan meninggalkan rumah-tangga, yang akan menghasilkan kebajikan besar dan Buah Kesucian.

Mendengar penjelasan Gobharaṇa, banyak orang tertarik untuk berlatih lebih intensif dan hidup membiara secara Buddhis. Di antaranya adalah kepala pekerjaan umum (szŭ-k’ung 司空) Kota Yang-ch’êng 陽城, Liu Shan-chün 劉善峻, beserta 260 orang pengikutnya. Selain itu 390 warga ibukota yang mengikuti Chang Tzŭ-shang 張子尚, serta seorang wanita yang dipanggil Ah P’an 阿潘 dengan 121 kawannya, juga hendak meninggalkan rumah-tangga. Wanita-wanita istana pimpinan Wang Chieh-yü 王婕妤 sejumlah 190 (atau 230 menurut sumber lain) turut bergabung. Bahkan terdapat pula para pengawal istana dan jenderal tingkat sembilan (chên-yüan chiang-chün 鎭遠將軍) bernama Chiang Hsün-ni 姜荀兒 sejumlah 175 orang.

Para padri Tao dari Empat Puncak dan gunung-gunung lain sejumlah 620 orang akhirnya memeluk Buddhisme dan hendak meninggalkan rumah-tangga pula. Terkecuali adalah padri-padri dari Puncak Selatan yang pulang untuk menguburkan Ch’u Shan-hsin dan Fei Shu-ts’ai.




Mereka semua hanya menerima Tiga Perlindungan dan Lima Śīla karena pada saat itu kuorum 10 (atau minimal 5) bhikṣu yang diperlukan untuk melaksanakan sebuah upasampadā tidak terpenuhi. Mereka hidup selibat dan memakai jubah kain polos yang berbeda dengan kāṣāya berpetak yang dikenakan bhikṣu/bhikṣuṇī. Demikianlah di zaman Han hanya terdapat komunitas anāgārika, hingga di abad ke-3 Chu Shih-hêng 朱士行 (203–282) menjadi bhikṣu Tionghoa pertama yang menerima upasampadā dan hijrah ke Khotan.