Laman

16.


Ts’ai Yin juga mengajak sahabat Kāśyapa Mātaṅga yang bernama Gobharaṇa, seorang bhikṣu terkemuka, untuk ikut ke Cina. Akan tetapi, perjalanan tidak berlangsung mulus begitu saja. Raja setempat menganggap Kāśyapa Mātaṅga sebagai harta nasional yang hidup dan tidak memperbolehkannya meninggalkan negeri. Maka mereka berusaha keluar dengan sembunyi, mencari jalan memutar.

Beberapa bulan sesudahnya, setelah melewati gurun pasir Asia Tengah, sampailah rombongan itu di Ibukota Luoyang. Peristiwa ini terjadi pada hari terakhir (30 Cap Ji Gwee) di tahun ke-67 era Yung-p’ing.




Kāśyapa Mātaṅga membawa serta teks-teks Dharma sejumlah kurang lebih 600.000 akṣara, atau 18.750 śloka. Śloka adalah bentuk puisi India yang terdiri atas 4 baris, masing-masing 8 sukukata. Jadi, sebait śloka memiliki 32 sukukata. Angka ini di kemudian hari digunakan untuk menghitung panjang sebuah teks walaupun teks itu bahkan berupa prosa, bukan śloka lagi.

Selain itu, mereka juga membawa relik Buddha, patung-patung, serta sebuah lukisan yang konon merupakan kopi ke-4 penggambaran patung Buddha berdiri yang dibuat Raja Udayana. (Kisah Raja Udayana yang terkenal membuat patung Buddha pertama dari kayu cendana akan diceritakan nanti.) Segala muatan tersebut diangkut oleh seekor kuda putih.