Laman

33.




Pada saat itu relik Buddha yang terdapat di altar Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa pun memancarkan cahaya pancawarna. Cahaya itu menjulang ke langit dan berputar menaungi tempat tersebut seperti kanopi. Kecemerlangannya bahkan menutupi cahaya matahari.

Kāśyapa Mātaṅga sekonyong-konyong melesat terbang ke angkasa dan menyenandungkan gāthā berikut:

「狐非師子類  燈非日月明
 池無巨海納  丘無嵩嶽嶸
 法雲垂世界  善種得開萌
 顯通希有法  處處化群生」

“Rubah bukanlah bangsa singa;
pelita tidaklah seterang mentari dan rembulan;
kolam tak mungkin menampung samudra besar;
bukit tiada yang semenonjol Puncak Sung.

Awan Dharma menaungi seisi dunia;
benih yang baik dapatlah berkecambah.
Dharma, yang sungguh jarang ada, ditampilkan
dan di segala tempat semua makhluk pun terubahkan.”

Kemudian ia turun kembali dan duduk. Hujan bunga mustika tercurah dari langit dan lamat-lamat kedengaranlah musik surgawi berkumandang. Sementara itu, Gobharaṇa pun berceramah dengan suara brahma, mengagungkan kualitas-kualitas Buddha dan memuji Tiga Permata. Banyak orang yang hadir di situ merasa tersentuh dan terbangkitkan keyakinannya terhadap Saddharma.