Setelah menempuh perjalanan panjang melewati berbagai negeri tanpa kenal lelah, setelah membaktikan sebagian besar hidupnya untuk mengajar Dharma demi banyak makhluk, dengan tubuh yang menua dimakan usia, Kāśyapa Mātaṅga akhirnya wafat pada tahun ke-16 Yung-p’ing (73 M). Siswa-siswanya merasa amat kehilangan. Gobharaṇa pun melanjutkan karya misionarisnya di Cina seorang diri.
Saat ini kita dapat menjumpai makam Kāśyapa Mātaṅga di sebelah kanan pelataran depan begitu kita memasuki gerbang Vihāra Kuda Putih. Tulisan pada nisannya mencantumkan gelar anumerta yang pernah dianugerahkan oleh kaisar Dinasti Sung, Hui-tsung 宋徽宗, pada tahun 1103:
Sebenarnya terdapat teka-teki seputar keberadaan jasad Kāśyapa Mātaṅga. Makam yang ada sekarang hanya merupakan hasil pemugaran dari era kaisar terakhir Ming, Ch’ung-chên 崇禎, tahun ke-7 (1634). Dalam “Babad Buddhis & Taois” 〈釋老志〉, yang merupakan babad ke-20 dalam Buku Wei 《魏書》 (ditulis tahun 551 di masa Dinasti Ch’i Utara 北齊), memang disebutkan:
Namun, catatan-catatan lama menyatakan bahwa kaisar Sung Chên-tsung 宋真宗 pernah memuji jasad Kāśyapa Mātaṅga yang tidak rusak setelah berlalu hampir 1.000 tahun sewaktu ia mengunjungi Vihāra Kuda Putih di bulan 3 tahun ke-4 era Ching-tê 景德 (1007). Ia membuat maklumat resmi agar bhikṣu-bhikṣu di situ menjaganya baik-baik.
Bagaimanakah Kaisar Sung Chên-tsung bisa melihat jasad Kāśyapa Mātaṅga dan membuat pujian jikalau jasad tersebut dikuburkan? Ada sebuah legenda yang memang mengisahkan bahwa jasad Kāśyapa Mātaṅga tidak pernah dikubur, tetapi disimpan di sebuah peti yang diletakkan dalam ruangan batu yang tersegel rapat-rapat. Barangsiapa yang ingin melihatnya harus memohon jurukunci membukakan ruangan tersegel itu dan membawa lilin untuk penerangan.
Di sisi lain, peristiwa tersebut barangkali merupakan kelanjutan dari cerita kekeringan panjang yang terjadi pada era Ch’un-hua 淳化 (990–994). Ayah Kaisar Chên-tsung, Sung T’ai-tsung 宋太宗, pernah memerintahkan orang agar berdoa memohon hujan, lalu membuka makam Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa. Saat dibuka, penampilan keduanya terlihat segar seolah-olah masih hidup, dan sekonyong-konyong hujan tercurah dari langit.
Saat ini kita dapat menjumpai makam Kāśyapa Mātaṅga di sebelah kanan pelataran depan begitu kita memasuki gerbang Vihāra Kuda Putih. Tulisan pada nisannya mencantumkan gelar anumerta yang pernah dianugerahkan oleh kaisar Dinasti Sung, Hui-tsung 宋徽宗, pada tahun 1103:
「聖旨敕賜 漢 啟道圓通摩騰大師 墓」
“Dianugerahkan atas titah kekaisaran: [inilah] makam Guru Besar Pembuka Jalan dengan Penembusan Sempurna, Mātaṅga dari Dinasti Han.”
Sebenarnya terdapat teka-teki seputar keberadaan jasad Kāśyapa Mātaṅga. Makam yang ada sekarang hanya merupakan hasil pemugaran dari era kaisar terakhir Ming, Ch’ung-chên 崇禎, tahun ke-7 (1634). Dalam “Babad Buddhis & Taois” 〈釋老志〉, yang merupakan babad ke-20 dalam Buku Wei 《魏書》 (ditulis tahun 551 di masa Dinasti Ch’i Utara 北齊), memang disebutkan:
摩騰、法蘭,咸卒於此寺。
Mātaṅga dan Bharaṇa, semuanya wafat di vihāra ini (Pai-ma szŭ).
Namun, catatan-catatan lama menyatakan bahwa kaisar Sung Chên-tsung 宋真宗 pernah memuji jasad Kāśyapa Mātaṅga yang tidak rusak setelah berlalu hampir 1.000 tahun sewaktu ia mengunjungi Vihāra Kuda Putih di bulan 3 tahun ke-4 era Ching-tê 景德 (1007). Ia membuat maklumat resmi agar bhikṣu-bhikṣu di situ menjaganya baik-baik.
Bagaimanakah Kaisar Sung Chên-tsung bisa melihat jasad Kāśyapa Mātaṅga dan membuat pujian jikalau jasad tersebut dikuburkan? Ada sebuah legenda yang memang mengisahkan bahwa jasad Kāśyapa Mātaṅga tidak pernah dikubur, tetapi disimpan di sebuah peti yang diletakkan dalam ruangan batu yang tersegel rapat-rapat. Barangsiapa yang ingin melihatnya harus memohon jurukunci membukakan ruangan tersegel itu dan membawa lilin untuk penerangan.
Di sisi lain, peristiwa tersebut barangkali merupakan kelanjutan dari cerita kekeringan panjang yang terjadi pada era Ch’un-hua 淳化 (990–994). Ayah Kaisar Chên-tsung, Sung T’ai-tsung 宋太宗, pernah memerintahkan orang agar berdoa memohon hujan, lalu membuka makam Kāśyapa Mātaṅga dan Gobharaṇa. Saat dibuka, penampilan keduanya terlihat segar seolah-olah masih hidup, dan sekonyong-konyong hujan tercurah dari langit.