Hsiung-nu 匈奴 bukanlah sebuah bangsa yang homogen, melainkan konfederasi suku-suku nomaden yang dipimpin oleh seorang ketua yang disebut shanyü 單于. Di bawah shanyü adalah pangeran dari dua puak berbeda yang disebut *jükü-bek 屠耆王 (diterjemahkan sebagai ‘raja-bijak’ 賢王). Raja-bijak kiri 左賢王, yang berasal dari puak timur, menurut hukum Hsiung-nu akan menjadi penerus takhta sebagai shanyü berikutnya. Ia diberi kewenangan atas pasukan yang besar. Raja-bijak kanan 右賢王, yang berasal dari puak barat, berperan sebagai perdana menteri. Ia hanya menjalankan fungsi pengawasan dan dapat menjadi shanyü berikutnya jika melakukan kudeta.
Sewaktu Jenderal Huo Ch’ü-ping membebaskan Koridor Ho-hsi, pasukan Hsiung-nu mengalami kekalahan besar dan terpukul mundur hingga ke Gunung Ch’i-lien 祁連山. Shanyü saat itu, Ichise 伊稚邪, merasa amat murka dan hendak menghukum mati kedua raja-bijak. Raja-bijak kanan, Hun-yeh (*Hunie 昆耶王), ketakutan dan memilih menyerah kepada pihak Han. Ia mengajak raja-bijak kiri, Hsiu-ch’u (*Süchi 休屠王), yang menjadi penerus takhta dan memimpin pasukan besar, untuk ikut menyerahkan diri. Semula Hsiu-ch’u setuju, namun di tengah perjalanan ia membatalkan niatnya dan berbalik arah bersama pasukannya. Maka Hunie pun membunuhnya.
Pada akhirnya 40.000 pasukan Hsiung-nu menyerah dan dibawa sebagai tahanan oleh Huo Ch’i-ping. Hunie mengambil patung emas — hampir bisa dipastikan sebuah patung Buddha — yang selama ini dipuja oleh Raja Hsiu-ch’u, dan membawanya serta ke ibukota Han. Dalam rombongan itu putra Hsiu-ch’u yang bernama Mi-ti 日磾, yang baru berusia 14 tahun, juga ikut ditawan. Ia dipekerjakan di istal kuda dan mendapat perkenan Kaisar Han Wu-ti. Mengingat patung emas yang dipuja ayahnya, maka Kaisar memberinya marga Chin 金 (‘emas’) sehingga ia dikenal sebagai Chin Mi-ti.
Patung emas itu sendiri ditempatkan oleh Kaisar Han Wu-ti di Istana Sumber Manis (Kan-ch’üan kung 甘泉宮). Yang menarik adalah: patung tersebut tidak memerlukan kurban-kurbanan banteng atau biri-biri, tetapi cukup diberi persembahan dupa. Maka Kaisar pun memerintahkan agar cara pemujaan seperti di negeri asalnya diteruskan.
Dari kisah di atas dapat kita lihat bahwa agama Buddha — entah dari mana asalnya — sudah dikenal di antara beberapa suku Hsiung-nu, yang merupakan penganut shamanisme dan memuja tengri (roh langit) tanpa perwujudan patung apa pun. Entah kebetulan atau disengaja, nama Hsiu-ch’u atau Hsiu-t’u 休屠 (yang berarti ‘beristirahat dari penyembelihan’) merupakan transkripsi Tionghoa mula-mula untuk kata Buddha. Nama Hunie 昆耶 juga kadang dituliskan secara salah menjadi P’i-hsieh 毘邪 (Vaiśāli?). Yang jelas Kaisar Han Wu-ti hanya menganggap patung emas itu sebagai berhala biasa yang tidak berbeda dengan dewa-dewa lainnya. Pemujaannya juga lebih bersifat pribadi sehingga kecil pengaruhnya terhadap perkembangan agama Buddha di Cina.
Sewaktu Jenderal Huo Ch’ü-ping membebaskan Koridor Ho-hsi, pasukan Hsiung-nu mengalami kekalahan besar dan terpukul mundur hingga ke Gunung Ch’i-lien 祁連山. Shanyü saat itu, Ichise 伊稚邪, merasa amat murka dan hendak menghukum mati kedua raja-bijak. Raja-bijak kanan, Hun-yeh (*Hunie 昆耶王), ketakutan dan memilih menyerah kepada pihak Han. Ia mengajak raja-bijak kiri, Hsiu-ch’u (*Süchi 休屠王), yang menjadi penerus takhta dan memimpin pasukan besar, untuk ikut menyerahkan diri. Semula Hsiu-ch’u setuju, namun di tengah perjalanan ia membatalkan niatnya dan berbalik arah bersama pasukannya. Maka Hunie pun membunuhnya.
Pada akhirnya 40.000 pasukan Hsiung-nu menyerah dan dibawa sebagai tahanan oleh Huo Ch’i-ping. Hunie mengambil patung emas — hampir bisa dipastikan sebuah patung Buddha — yang selama ini dipuja oleh Raja Hsiu-ch’u, dan membawanya serta ke ibukota Han. Dalam rombongan itu putra Hsiu-ch’u yang bernama Mi-ti 日磾, yang baru berusia 14 tahun, juga ikut ditawan. Ia dipekerjakan di istal kuda dan mendapat perkenan Kaisar Han Wu-ti. Mengingat patung emas yang dipuja ayahnya, maka Kaisar memberinya marga Chin 金 (‘emas’) sehingga ia dikenal sebagai Chin Mi-ti.
Patung emas itu sendiri ditempatkan oleh Kaisar Han Wu-ti di Istana Sumber Manis (Kan-ch’üan kung 甘泉宮). Yang menarik adalah: patung tersebut tidak memerlukan kurban-kurbanan banteng atau biri-biri, tetapi cukup diberi persembahan dupa. Maka Kaisar pun memerintahkan agar cara pemujaan seperti di negeri asalnya diteruskan.
Dari kisah di atas dapat kita lihat bahwa agama Buddha — entah dari mana asalnya — sudah dikenal di antara beberapa suku Hsiung-nu, yang merupakan penganut shamanisme dan memuja tengri (roh langit) tanpa perwujudan patung apa pun. Entah kebetulan atau disengaja, nama Hsiu-ch’u atau Hsiu-t’u 休屠 (yang berarti ‘beristirahat dari penyembelihan’) merupakan transkripsi Tionghoa mula-mula untuk kata Buddha. Nama Hunie 昆耶 juga kadang dituliskan secara salah menjadi P’i-hsieh 毘邪 (Vaiśāli?). Yang jelas Kaisar Han Wu-ti hanya menganggap patung emas itu sebagai berhala biasa yang tidak berbeda dengan dewa-dewa lainnya. Pemujaannya juga lebih bersifat pribadi sehingga kecil pengaruhnya terhadap perkembangan agama Buddha di Cina.