Kaisar Han Ming-ti amat gembira dengan kedatangan kedua bhikṣu itu. Ia juga memberi perhatian besar pada harta pusaka yang mereka bawa. Teks-teks Dharma ditempatkannya dalam kamar batu tahan-api di Paviliun Anggrek 蘭臺, yang merupakan gedung perpustakaan istana; sedangkan lukisan patung Buddha Udayana ia puja di Paviliun Jernih dan Sejuk 清涼臺 di Istana Selatan. Selain itu, ia memerintahkan agar replikanya dilukis dan digantungkan di atas Gerbang K’ai-yang 開陽門 di timur Luoyang, sehingga masyarakat dapat melihatnya dan membuat lukisan atau patung Buddha berdasarkan model tersebut. Sebuah replika lain dipamerkan di Bukit Hsien-chieh 顯節陵 yang sebenarnya dipersiapkan sebagai taman pemakamannya bila ia wafat kelak.
Keesokannya, hari pertama di tahun ke-11 era Yung-p’ing (68 M), Han Ming-ti pun mengadakan resepsi meriah untuk menyambut kedua bhikṣu itu. Ia bertanya: “Buddha digelari sebagai Dharmarāja. Mengapakah ia tidak datang mengajar ke Tiongkok atau lahir di sini saja?”
Kāśyapa Mātaṅga menjawab: “Negeri Kapilavastu terletak di Daerah Tengah (Madhyadeśa). Para Buddha di tiga masa senantiasa lahir di sana. Demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir sezaman dengan Buddha di sana adalah mereka yang memang memiliki ikatan karma, dan telah menanam akar kebaikan yang besar sehingga dapat mendengar ajaran-Nya dan tercerahkan. Makhluk-makhluk daerah lain tidak memiliki ikatan karma sehingga tidak berjumpa dengan Buddha. Walaupun begitu, cahaya belas-kasih-Nya senantiasa terpancar sama rata terhadap semua makhluk. Entah 500 tahun, 1.000 tahun, atau lebih dari 1.000 tahun kemudian — berkat keterampilan upāya-Nya — pastilah didatangkan seseorang untuk menggemakan ajaran-Nya ke daerah tersebut.”
“Jadi, tiadakah orang suci yang berdiam di Cina dan mengajarkan Dharma sebelum ini?” sambung Ming-ti.
“Ada. Di gunung terkenal negeri ini, Pañcaśīrṣa, Bodhisattva Mañjuśri selama ini berdiam dan membabarkan Dharma kepada para dewa dan naga. Akan tetapi, jika bukan manusia yang memiliki batin yang bersih, orang kebanyakan tidak dapat menjumpainya.”
Mendengar penjelasan Kāśyapa, Kaisar Han Ming-ti merasa amat bergembira.
Keesokannya, hari pertama di tahun ke-11 era Yung-p’ing (68 M), Han Ming-ti pun mengadakan resepsi meriah untuk menyambut kedua bhikṣu itu. Ia bertanya: “Buddha digelari sebagai Dharmarāja. Mengapakah ia tidak datang mengajar ke Tiongkok atau lahir di sini saja?”
Kāśyapa Mātaṅga menjawab: “Negeri Kapilavastu terletak di Daerah Tengah (Madhyadeśa). Para Buddha di tiga masa senantiasa lahir di sana. Demikian pula makhluk-makhluk yang terlahir sezaman dengan Buddha di sana adalah mereka yang memang memiliki ikatan karma, dan telah menanam akar kebaikan yang besar sehingga dapat mendengar ajaran-Nya dan tercerahkan. Makhluk-makhluk daerah lain tidak memiliki ikatan karma sehingga tidak berjumpa dengan Buddha. Walaupun begitu, cahaya belas-kasih-Nya senantiasa terpancar sama rata terhadap semua makhluk. Entah 500 tahun, 1.000 tahun, atau lebih dari 1.000 tahun kemudian — berkat keterampilan upāya-Nya — pastilah didatangkan seseorang untuk menggemakan ajaran-Nya ke daerah tersebut.”
“Jadi, tiadakah orang suci yang berdiam di Cina dan mengajarkan Dharma sebelum ini?” sambung Ming-ti.
“Ada. Di gunung terkenal negeri ini, Pañcaśīrṣa, Bodhisattva Mañjuśri selama ini berdiam dan membabarkan Dharma kepada para dewa dan naga. Akan tetapi, jika bukan manusia yang memiliki batin yang bersih, orang kebanyakan tidak dapat menjumpainya.”
Mendengar penjelasan Kāśyapa, Kaisar Han Ming-ti merasa amat bergembira.